UPDATESATU.COM-Pernahkah kita merasa sudah bekerja keras setiap hari, tetapi hidup tetap terasa sulit?
Gaji yang diterima seolah hilang begitu saja, bahkan sebelum akhir bulan tiba dompet sudah menipis.
Padahal, jika dihitung-hitung, penghasilan kita sebenarnya tidak kecil.
Masalah seperti ini ternyata dialami banyak orang. Bukan karena malas bekerja, bukan pula karena kurang rezeki.
Sering kali masalah tersebut justru muncul dari hal-hal kecil yang tanpa sadar kita lakukan setiap hari.
Ada satu kesalahan kecil yang mungkin tampak sepele, tetapi jika terus dibiarkan dapat membuat kita terjebak dalam kesulitan keuangan seumur hidup.
Banyak orang tidak menyadari bahwa kesalahan inilah yang menjadi penghalang terbesar untuk memiliki kehidupan yang lebih sejahtera. Menariknya, kesalahan ini bukan hanya dialami oleh mereka yang berpenghasilan pas-pasan, melainkan juga oleh orang dengan gaji besar. Jadi, persoalannya bukan besar atau kecilnya pemasukan, melainkan bagaimana kita mengelola penghasilan yang ada.
Kesalahan kecil itu adalah ketidakmampuan mengelola uang dengan baik. Kita sering berpikir bahwa masalah keuangan akan selesai ketika gaji meningkat.
Namun, kenyataannya setiap kali gaji naik, gaya hidup kita pun ikut naik. Yang semula cukup makan di warung, menjadi terbiasa makan di restoran.
Yang semula cukup menggunakan motor, ingin beralih mencicil mobil. Tanpa disadari, seluruh penghasilan habis begitu saja.
Fenomena ini dikenal dengan istilah inflasi gaya hidup (lifestyle inflation).
Banyak orang terjebak bukan karena malas, melainkan karena tidak memiliki kendali atas kebiasaan keuangan sehari-hari.
Padahal, jika diperhatikan, uang sering kali habis bukan karena kebutuhan pokok, melainkan kebiasaan kecil yang dianggap sepele.
Misalnya membeli kopi kekinian setiap hari, berbelanja daring terus-menerus, atau membeli barang yang sebenarnya tidak mendesak.
Satu-dua kali memang tidak terasa, tetapi jika dilakukan terus-menerus jumlahnya bisa sangat besar.
Masalah ini bukan sekadar cerita, melainkan terbukti dalam berbagai survei. Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%.
Artinya, dari 100 orang, hanya sekitar 50 orang yang benar-benar memahami cara mengelola keuangan. Separuh lainnya belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan keuangan.
Lebih jauh lagi, survei Bank Dunia menunjukkan bahwa lebih dari 70% orang dewasa di Indonesia tidak memiliki tabungan darurat yang cukup untuk bertahan hidup selama tiga bulan tanpa penghasilan.
Bayangkan, jika tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau menghadapi kebutuhan mendesak, sebagian besar orang akan langsung kesulitan. Data ini membuktikan bahwa kesalahan dalam mengelola uang bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah besar yang dialami banyak orang.
Bahkan, sejumlah media menyoroti fenomena middle income trap di perkotaan.
Banyak pekerja kantoran dengan gaji di atas rata-rata tetap hidup pas-pasan, bahkan terlilit utang kartu kredit karena gaya hidup yang tidak terkendali.
Mari bayangkan contoh nyata. Ada dua orang teman sekantor dengan gaji sama, misalnya Rp7 juta per bulan.
Yang pertama, setiap kali menerima gaji langsung membelanjakannya untuk barang baru, nongkrong di kafe, mencicil ponsel terbaru, dan menggunakan kartu kredit untuk kebutuhan tambahan.
Setiap akhir bulan, tabungannya tetap kosong, bahkan terkadang minus karena harus membayar cicilan.
Sementara itu, yang kedua setiap kali menerima gaji langsung menyisihkan Rp1 juta untuk tabungan dan Rp500 ribu untuk investasi reksa dana.
Sisanya digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dengan perhitungan matang. Sesekali ia tetap jajan atau nongkrong, tetapi tidak berlebihan.
Setelah beberapa tahun, ia memiliki dana darurat, tabungan untuk uang muka rumah, bahkan portofolio investasi kecil.
Padahal, gaji mereka sama, pekerjaan mereka sama, bahkan jam kerja mereka juga sama-sama melelahkan. Perbedaannya hanya terletak pada kebiasaan kecil dalam mengelola keuangan.
Dampak dari kesalahan kecil ini sangat panjang, antara lain:
Tidak memiliki dana darurat. Ketika terjadi musibah, seperti sakit atau kehilangan pekerjaan, langsung panik.
Terjebak utang konsumtif, seperti cicilan barang yang tidak mendesak dan utang kartu kredit.
Sulit menabung atau berinvestasi, karena seluruh uang habis untuk konsumsi.
Hidup terasa jalan di tempat; bekerja keras hanya cukup untuk membayar tagihan.
Ketergantungan pada gaji bulanan. Begitu penghasilan berhenti, seluruh kehidupan runtuh.
Semua ini berawal dari kebiasaan kecil yang tampak sepele. Misalnya, kopi harian seharga Rp30 ribu, jika dikalikan sebulan sudah Rp900 ribu, dan dalam setahun hampir Rp11 juta. Itu baru satu kebiasaan.
Mengapa hal ini berbahaya? Karena kita tidak merasa bersalah ketika melakukannya. Membeli kopi, berbelanja daring, atau mengganti gawai lama yang masih berfungsi terasa wajar, padahal dari situlah masalah keuangan bermula.
Cara menghindari kesalahan ini antara lain:
Mencatat arus keuangan, sekecil apa pun pengeluaran.
Menyisihkan tabungan atau investasi di awal, segera setelah menerima gaji.
Membedakan kebutuhan dan keinginan.
Menyediakan dana darurat minimal tiga hingga enam bulan biaya hidup.
Belajar literasi keuangan melalui sumber sederhana.
Dengan langkah-langkah kecil ini, kita dapat keluar dari lingkaran gaji habis sebelum akhir bulan dan mulai membangun masa depan yang lebih tenang.(*)